Senin, 17 Oktober 2011

Artikel Etika Profesi

Artikel Etika Profesi

Bisnis dan keluarga bukanlah hal yang tidak bisa disatukan. Banyak usaha yang dimulai dari hobi keluarga kemudian berkembang menjadi perusahaan keluarga. Bahkan tidak sedikit perusahaan keluarga yang tumbuh berkembang dan menjadi perusahaan besar di Indonesia. Namun tidak sedikit juga bisnis keluarga yang tidak berkembang bahkan mati.
Grant Thornton Indonesia meneliti 250 perusahaan keluarga di Indonesia. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa sebagian besar perusahaan keluarga bergerak di bidang perdagangan besar dan eceran (36%). Kemudian disusul manufaktur dan distribusi (24%), jasa profesional (14%), dua jenis bidang usaha (13%), pertanian dan perikanan (4%), kontruksi (3%) keuangan dan real estate serta transportasi (2%), hotel dan hiburan serta jasa perusahaan (1%).
Dilihat dari omzetnya, bisnis dan perusahaan keluarga sebagian besar memiliki omzet kurang dari Rp 500 juta pertahun. SEbanyak 37% perusahaan kelarga mengelola omzet kurang dari Rp 100 juta dan Rp 100-499 juta sebanyak 13% beromzet sebesar Rp 1 – 9,9 miliar, yang mengelola omzet Rp 500 – 999 juta sebanyak 8%, mengelola omzet sebesar 10-99,9 miliar sebanyak 3% dan sebanyak 2% mengelola omzet lebih dari Rp 100 miliar.
Hal yang menarik adalah pada penelitian ini juga ditemukan sebagian besar (78%) bisnis dan perusahaan keluarga Indonesia sebanyak dipegang oleh pendiri. Sementara generasi kedua dan ketiga hanya 5% dan 2% saja. Sisanya (17%) dipegang oleh bukan anggota keluarga. Menurut Erwin Ariadharma Manager Corporate Consulting & Government Advisory Grant Thornton Indonesia, kondisi demikian menunjukkan selain perusahaan keluarga Indonesia umumnya masih muda juga sangat rentan akan perubahan. Mereka (para pendiri) umumnya belum memiliki pengalaman ketika memulai bisnisnya.
Meski demikian, perusahaan keluarga di Indonesia telah menunjukkan gejala membaik. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya anggota keluarga yang mempunyai pengalaman kerja terlibat dalam perusahaan. Dari penelitian itu disebutkan bahwa sebagian besar mereka yagn bergabung degnan perusahaan keluarga telah bekerja di tempat lain (57%).
Namun sayangnya, tambah Erwin, mereka kurang didukung oleh pendidikan. Hal ini terlihat dari masih banyaknya mereka yang hanya lulusan sekolah menengah (30%) sedangkan yang lulusan universitas dan telah mengikuti jenjang training profesional masing-masing hanya 12% dan 1%. “Padahal untuk dapat berkembang dengan baik dua hal ini penting (berpengalaman dan berpendidikan),” sambung Erwin.
Mereka lebih senang membiarkan anaknya sekolah sesuai keinginannya. Hanya 24% saja yang mengkaitkan sekolah anaknya dengan kebutuhan perusahaan. Sedikit saja yang menyetujui manajemen dan anak-anak pemilik harus mendapatkan saham dengan bagian yang sama. Ini sedikit berbeda dengan tren di negara maju. Di dunia, sebanyak 27% perusahaan menghendaki anaknya mengambil jenjang pendidikan sesuai dengan kebutuhan perusahaan sedangkan di Jepang lebih besar lagi (30%).
Perusahaan keluarga di Indonesia juga menghadapi masalah regenerasi. Pemilik perusahaan yang menghendaki anaknya meneruskan usahanya dan yang tidak berjumlah sama. Mereka yang menghendaki anaknya meneruskan usahanya lebih dikarenakan keinginan anaknya sendiri.
Sebanyak 39% perusahaan menyatakan bahwa anaknya akan dijadikan generasi penerus di perusahaan keluarga, sebesar 27% akan memberikan kepada anaknya, jika anaknya memang meginginkan sedangkan 34% tidak menghendaki anaknya meneruskan usaha mereka. Mereka juga merasa penting untuk membuat anak mereka tertarik dengan produk dan pasar perusahaan (54%).
Menurut penelitian tersebut, hal yang paling dikhawatirkan oleh perusahaan keluarga di Indonesia adalah mengenai pengembangan bisnisnya. Sebagian besar (90%) pemilik perusahaan keluarga selalu bertanya apakah dirinya benar-benar perlu mengembangkan bisnisnya. Pertanyaan ini mengindikasikan bahwa orientasi bisnis dan perusahaan keluarga di Indonesia masih jangka pendek sifatnya. Mereka masih konvesional dalam mengelola bisnisnya dan belum berfikir pengembangan. Erwin mencontohkan sikap para pemilik perusahaan terhadap kredit bank. Sebagian besar dari mereka lebih memilih tidak mengembangkan perusahaanya ketimbang harus berurusan dengan bank.
Hal ini disebabkan selain karena tidak memiliki rasa percaya diri juga karena mekanisme bank yang terlalu membebaninya. Misalkan saja masalah jaminan yang jumlahnya bisa lebih besar dari pinjamannya. Padahal jika jaminan itu distia mereka tidak mempunyai apa-apa lagi. “karena itu perlu pendekatan yang lebih efektif agar dapat mendorong mereka lebih maju,” sambungnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar